Literasi Empati dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Teks Berita Feature

Bagikan

Literasi Empati dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Teks Berita Feature

Oleh Eva Rafiqoh, M.Pd.

Satuan waktu untuk layar gawai sudah tidak lagi mengenal jam, menit, ataupun detik. Satu usapan (swipe) adalah satuan waktu di era kini popular digunakan untuk mendapatkan informasi yang serba cepat. Artinya, kecepatan informasi di era digital saat ini adalah sebuah keniscahyaan. Tentang kecepatan, hal ini berdampak pada informasi yang kerap kali tidak dilakukan verifikasi yang memadai dan tidak memberikan informasi yang menyeluruh dari konteks yang ada. Berita- berita nir-verifikasi ini memang sebenarnya berasal dari fakta yang ada, namun kerap kali dipublikasikan apa adanya, tanpa diolah, hanya untuk menarik emosional para pembaca, bukan memberikan tujuan edukasi kepada pembaca. Misalnya berita yang tidak menyensor korban kecelakaan, atau pembunuhan, atau  pernyataan pejabat publik yang secara sengaja dipotong pada bagian yang dapat melemahkan rakyat. Hal ini dapat dikatakan,  informasi ini telah mengesampingkan nilai-nilai empati dalam pemberitaan.

Sebagai contoh yang lain, terdapat pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang membandingkan perekonomian Indonesia jauh lebih baik daripada Timor Leste. Selain itu, pernyataan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, yang menyebut bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) lebih mendesak ketimbang penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini tentu, jika pemberitaan itu tidak disertakan konteks yang lengkap makan terkesan berita tanpa empati bisa menimbulkan kesan kurang memperhatikan sisi kemanusiaan dan kondisi masyarakat sehari-hari.

Pemberitaan yang demikian patut menjadi bahan refleksi bersama. Ketika media menonjolkan hal-hal yang hanya mengambil pernyataan pejabat tanpa melihat masyarakat yang akan terdampak dari pemberitaan tersebut, maka tugas pekerja media tidak lagi untuk publik namun demi keuntungan lembaga. Jika hal ini terus berulang, maka selain masyarakat yang terkena dampak, para pelajar juga segera terpapar dengan informasi-informasi yang demikian tidak valid. Selain itu, masyarakat akan terbiasa memandang berita sebagai sekadar laporan fakta, bukan sebagai jendela memahami kehidupan dan kemanusiaan. Media yang kurang baik dikhawatirkan tidak memberikan teladan baik tentang bagaimana berbahasa, berpikir kritis, dan empati dalam menyikapi peristiwa sosial. Oleh karena itu, untuk memotong rantai nirteladan itu, dibutuhkan literasi empatik sejak dini.

Literasi empati merupakan kemampuan memahami merasakan, dan menghargai perspektif, emosi, serta pengalaman orang lain atau dengan kata lain membaca dengan hati sama pentingnya dengan membaca dengan mata. Penulis melakukan pendekatan dengan sudut pandang kemanusiaan, dan mendalami kehidupan dari perspektif lain yang harapannya bisa menginspirasi para pembaca.

Sebagai pendidik, melihat fenomena tersebut, sepatutnya dapat memberikan sedikit kontribusi dalam proses pembelajaran. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia SMA Kelas XI, terdapat pembelajaran teks berita yang sekiranya relevan memfasilitasi peserta didik dalam mengalami belajar tentang empati di sekolah. Dalam kegiatan pembelajaran ini, murid tidak hanya mengalami belajar menulis berita secara teknis, tetapi diharapkan dapat melihat sisi manusiawi di balik peritiwa yang akan diberitakan. Aktivitas ini mengarahkan murid untuk merefleksikan bahwa berita bisa berupa kehidupan seseorang, bukan hanya berita utama atau data berupa angka.

Teks berita dalam pembelajaran ini menggunakan jenis feature yaitu teks berita yang menyajikan laporan tertulis tentang informasi suatu keadaan yang terjadi, dengan struktur berita pada umumnya judul, kepala berita, tubuh berita, dan penutup. Namun, berbeda dengan jenis berita strightnews kepala berita sebagai rangkuman berita ini, dalam feature, kepala berita berisi pintu gerbang penggungah minat pembaca, tubuh berita berisi detail peristiwa dan memberikan ruang lebih besar pada unsur human interest, menyoroti latar belakang manusia, emosi, dan proses, serta dampak pada suatu peristiwa dan terakhir penutup berisi refleksi atau pesan yang mengesankan. Dalam berita strightnews, unsur apa tidak hanya sebatas menanyakan peristiwa namun apa makna dari peristiwa dari sisi kemanusiaan.

Dalam menerapkan pembelajaran teks berita ini, guru dapat menggunakan pendekatan pengalaman pembelajaran mendalam. Kegiatan ini dapat dilakukan secara berkelompok atau individual. Pengalaman belajar pertama yaitu refleksi yaitu murid diberikan waktu untuk merefleksikan peristiwa sosial yang terjadi di lingkungan rumah, sekolah, atau lingkungan yang sedang dekat dengan murid. Refleksi ini adalah kunci dari menerapkan nilai-nilai empati dalam pembelajaran ini. Murid dibimbing untuk memberikan pandangan tentang sosok-sosok berjasa di sekitarnya, atau tokoh yang kurang beruntung, namun bisa diangkat menjadi berita dan dapat menginspirasi pembaca.

Pengalaman belajar kedua yakni aplikasi, murid diberikan kesempatan dan waktu untuk melakukan liputan di lapangan dengan subjek berita yang telah dipilih. Murid diberikan kesempatan berinteraksi secara langsung yakni melakukan wawancara, dan melakukan penggalian informasi secara penuh dengan tetap melihat kode etik jurnalistik, yaitu jika ada hal yang tidak bisa ditulis makan penulis tidak bisa melaporkannya ke dalam tulisan. Kemudian, setelah mendapatkan data penulis menuliskannya dalam bentuk laporan feature.

Pengalaman belajar terakhir adalah memahami dan memaknai kegiatan ini, murid akan presentasi hasil liputan yang telah dilakukan.  Dan pada akhirnya guru menggali nilai-nilai empati apa yang telah didapatkan oleh para murid setelah melakukan sebuah liputan.

Apakah makna yang dapat murid ambil dari subjek berita? Apakah hal yang menarik dari subjek berita? Apakah murid bisa menceritakan perjuangan yang dilakukan oleh subjek berita? Apakah hal-hal yang bisa diterapkan murid dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diambil terinspirasi dari subjek berita? Apakah murid bertambah bersyukur setelah melakukan liputan? pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa menjadi refleksi bersama setelah murid melakukan liputan. Dan ketika murid bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan jujur maka dapat dikatakan pembelajaran bermakna telah didapatkan murid untuk kehidupan sehari-harinya.

Sebagai refleksi, melalui pembelajaran ini diharapkan mendapatkan manfaat dan pengalaman baru. Dalam menerima berita dari paparan informasi sebagai pembaca tidak serta merta menelan mentah-mentah informasi, dan ketika menjadi penulis tidak memberitakan berita yang tidak terverifikasi dengan baik, dan bisa menjaga kata-kata sesuai dengan etika untuk memberikan empati terhadap sesama. Dalam jangka panjang, dampak dari pembelajaran ini adalah menumbuhkan generasi mudah bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga matang secara emosional dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Eva Rafiqoh, M.Pd.- Guru Bahasa Indonesia SMA Islam Al Azhar 14 Semarang

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *